KUMPULAN PAIN & Quarter Life Crisis Versi Gue. Bagi kebanyakan orang, Quarter Life Crisis merupakan salah satu fase terpenting dalam hidup mereka. Fase ini merupakan fase peralihan yang kita rasakan di usia 20an, fase dimana kita beranjak dewasa, meninggalkan fase remaja dan mulai memegang penuh tanggung jawab dalam hidup kita sendiri.
Beberapa ada yang merasakan Quarter Life Crisis lebih awal, diawal usia 20 tahunan lebih tepatnya, ada juga yang merasakan tepat di usia 25 tahun, which is ulang tahun yang ke seperempat abad, namun ada juga yang merasakan Quarter Life Crisis ini di usia 25 menjelang 30 tahun.
Bagi gue sendiri, tepat di usia 25 tahun merupakan puncak Quarter Life Crisis versi gue. Sebenarnya di usia 23 tahun, gue udah mulai ngerasain awal-awal Quarter Life Crisis ini, tetapi menurut gue titik akhir Quarter Life Crisis serta permulaan babak baru hidup gue itu ada setelah ultah gue yang ke 25.
Balik lagi ke usia 23, pada 2015 yang lalu, sesaat setelah gue ngerasain wisuda sarjana yang pertama dan terakhir kalinya.
Pada masa itu gue dihadapkan pada beberapa pilihan yang rumit, diantaranya:
- Langsung bekerja di Pekanbaru tempat gue kuliah, karena gue udah bangun relasi yang lumayan disana, baik itu teman kuliah, alumni, serta teman-teman bermain bola & futsal, tetapi bagi gue ini zona nyaman yang bisa membuat terlena
- Pilihan kedua yaitu balik ke Dumai yang merupakan kampung halaman gue lalu bekerja dan stay disana kemudian menikah, memiliki anak, serta hidup berbahagia di kampung halaman yang juga dekat dengan keluarga
- Pilihan terakhir dan yang paling extreme yaitu merantau ke daerah yang benar-benar baru untuk survive, keep struggle dan menghadapi semua tantangan untuk upgrade diri gue menjadi lebih baik
Dan akhirnya gue putuskan pilihan terakhir, yaitu merantau ke daerah yang benar-benar baru untuk survive, keep struggle dan menghadapi semua tantangan untuk upgrade diri gue menjadi lebih baik. Ada banyak pertimbangan sebelum gue memutuskan untuk memilih ini, dan gue tau pilihan ini merupakan pilihan yang pastinya ditolak oleh orang-orang disekitar inner circle gue mulai dari orang tua, adik-adik, serta sahabat, karena mereka takut dengan resiko yang gue hadapi didepannya khususnya resiko dompet kering.
Apalagi disini gue janji ga bakal ngerepotin orang-orang disekitar gue jika terjadi masalah di tanah rantau kedepannya, karena emang dari hati gue ingin belajar mandiri serta mengambil tanggung jawab penuh terhadap diri sendiri atas apa yang gue lakuin dalam hidup.
Setelah berpikir, merenung panjang, dan sholat istikhoroh, akhirnya gue memutuskan untuk merantau ke Batam, sangat diluar dugaan karena pilihan awal gue adalah antara Jakarta, Bandung ataupun Yogyakarta. Gue pilih Jakarta karena gue yakin disana tempat yang pas buat ngelatih mental serta jiwa pantang menyerah gue, sementara gue pilih Bandung ataupun Jogja jelas karena gue ingin lebih menikmati hidup serta bekerja biasa sambil menyambung pendidikan S2.
Sementara Batam? Selain yang paling kontroversial, karena emang pulau tersebut lebih terkenal banyak ‘ga baiknya’ (persepsi orang-orang), serta banyaknya berita kriminal disana yang sedikit ‘mencuci’ pemikiran orang tua gue, dan membuat gue harus berangkat merantau tanpa restu dari orang tua, khususnya mama.
Hingga akhirnya, dengan modal ongkos pas-pasan, sisa dari tabungan dan bisnis gue semasa kuliah, pada hari jumat, 16 oktober 2015 pukul 06.30 gue berangkat dari Pelabuhan Dumai menuju Batam dengan perjalanan selama 8 jam melewati Bengkalis, Selatpanjang, serta Tanjung Balai Karimun.
Pada petualangan panjang gue yang berawal dari Batam dengan sisa tabungan hanya 450.000 rupiah itu, tanpa disangka takdir malah membawa gue menuju Singapore, bekerja beberapa bulan di Batam, pindah ke Jakarta, kemudian juga sempat stay di Yogyakarta untuk refresh pikiran serta reset hidup gue dan kembali berjuang di Ibukota.
Hidup ini adalah rangkaian ketidaksengajaan yang diselipkan beberapa keajaiban
Diperjalanan yang panjang dan penuh keajaiban tersebut, tentunya tidak gue alami dengan mulus dalam prosesnya. Sangat banyak lika-liku serta masalah yang gue hadapi, bahkan hanya untuk sekedar bertahan hidup susahnya minta ampun.
Setiap gue menghadapi titik terendah yang benar-benar menimbulkan luka di hati selama diperjalanan, gw catet se-detail mungkin dalam Note, karena gue yakin titik-titik yang gue kumpulkan didalam catatan ini akan menjadi motivator terbaik gue ketika nge-down.
Berikut adalah kumpulan Pain yang gue rasain & menjadi pembentuk pribadi gue di masa Quarter Life Crisis:
- Merantau ke daerah yang baru, sebut saja Batam dan hidup menumpang selama 3 bulan, pindah sana pindah sini, hilir mudik bersama ketidakjelasan
- Pergi ke luar negeri tanpa membawa dollar sepeserpun
- Makan nasi dingin yang sudah mengeras disiram dengan minyak goreng beserta sisa bumbu penyedap rasa, saat lapar ditengah malam
- Mengumpulkan uang recehan koin seratus dan dua ratus untuk membeli Indomie buat makan malam
- Merantau ke Jakarta hanya bermodalkan 200 ribu, berdua sama orang tersayang dan gak tau harus tinggal dan nginap dimana ketika sampai di Ibukota
- Terusir disaat numpang nginap di kos seorang sahabat, dan saat itu belum punya seorangpun teman dekat lainnya di Jakarta
- Harus menumpang dikamar seseorang yang baru dikenal
- Pulang Lebaran harus menumpang bus bersama mahasiswa dengan perjalanan 2 hari 2 malam Jakarta-Riau
- Harus berjuang survive di Jakarta dengan hidup menumpang, modal pas-pasan bahkan kurang, serta ditinggal orang yang disayang
- Berhutang (gak besar sih, 7 juta aja) untuk melanjutkan hidup dan bekerja dibawah tekanan di Jakarta, tanpa seorangpun mengetahuinya
- Berkunjung ke kota orang (Seperti Manado, Makassar, Lombok) dengan uang pegangan tidak lebih dari 300.000 saja (Itupun minjam)
- Harus resign dan nganggur untuk mengejar impian gila, tanpa income bahkan hingga 6 bulan dan hidup bersama hutang di sekeliling pinggang
- Berangkat ke Jakarta hanya dengan modal 150.000 rupiah, dan herannya masih bisa melanjutkan hidup sampai sekarang
- Ulang tahun di usia yang ke 25, which is salah satu ulang tahun teristimewa, dan seharusnya bersyukur sudah berumur seperempat abad. Tapi nyatanya hanya hidup dengan Rp. 26.000 di dompet, 26.000 di atm (untung aja di Kampus UI bisa narik pecahan 20.000), sedang menjalani puasa sunnah senin (tanpa sahur dan gak tau makan apa disaat berbuka), harus berjalan kaki di tengah panas terik Depok mencari alamat untuk melamar kerja, serta malamnya harus ngungsi ke tempat teman yang berjarak sekitar 2 jam perjalanan karena takut diminta traktiran ulang tahun. Dan hanya gue sendiri yang tau masalah ini.
- Backpackeran dari Jakarta – Bandung – Cilacap – Yogyakarta dengan menumpang dan dibayarin karna tidak ada pegangan yang cukup, modal awal 10.000 saja
- Backpackeran dari Yogyakarta menuju Bali dengan modal Rp. 300.000
- Harus tidur diatas dinginnya pasir pantai kuta sambil berharap rezeki turun dari langit, dan menumpahkan semua masalah disana
- Terlilit hutang dengan jumlah yang sangat lumayan untuk seorang perantau yang kuper (Lebih dari Rp. 10.000.000), hidup menumpang, dan income kedepan yang gak pasti
Dibawah titik-titik pain yang gue kumpulkan ini, gue catet dengan tulisan tebal kalimat yang selalu menjadi turning point gue ketika berada di titik terendah, dan menjadi pembakar semangat gue agar lebih bekerja keras dalam hidup, pantang menyerah serta nothing to lose dalam mengejar sesuatu yang gue inginkan.
Kalimat turning point tersebut adalah:
That’s why I don’t want to be poor any more, and I hate being poor!!!
That’s why I have big dream and big motivation to be RICH!!!
And I don’t want to lose every opportunity to get RICH and Inspiring others!!!
Tulisan tebal itulah yang sering gue baca setiap kali gue sedang jatuh dan tak berdaya, yang membuat gue semakin yakin bahwa bersama kesulitan itu ada kemudahan, dan didalam hidup lo pasti akan merasakan up and down.
Dengan sesuatu yang pasti tersebut, up and down tersebut, yang bisa lo lakukan hanya 2: Takut atau Menikmati setiap prosesnya.
And last: Yakinlah Teman, Hidup itu Penuh Keajaiban, Life is full with Miracle :’)